Cerita Garuda mendarat darurat di Bengawan Solo, pramugari tewas
Pada 16 Januari 2002, sekitar 0920 UTC, pesawat Garuda Indonesia jenis Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan 421, dengan registrasi PK-GWA menggunakan dua mesin turbofan CFM56-3B1, mengalami insiden mati mesin saat terbang menuju kota Yogyakarta. Setelah mencoba beberapa kali untuk menghidupkan mesin, kru pesawat melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo.
Pesawat tersebut terbang dari Lombok sekitar pukul 08.00 WITA. Menurut informasi yang didapat selama penyelidikan, saat take off cuaca dilaporkan cerah. Namun pilot melaporkan saat ketinggian (FL) 310 (kurang lebih 31,000 kaki) mereka memutuskan untuk mengambil rute lain karena melihat adanya badai dalam rute perjalanan yang sudah direncanakan. Badai ini terlihat dari radar cuaca di dalam pesawat.
Analisis dari data penerbangan digital (DFDR) dan gambar yang diperoleh dari satelit NOAA-12 menunjukkan bahwa pesawat telah memasuki badai sewaktu kru pesawat memulai untuk mengubah rute dari rute normal menuju Yogyakarta. Data satelit menunjukkan pesawat memasuki daerah dengan cuaca buruk sekitar 0918 UTC. Cuaca sangat buruk dan badai juga terakam dalam rekaman percakapan di dalam kokpit (CVR).
Data dari pencitraan satelit, CVR dan DFDR serta pernyataan pilot menunjukkan sebelum pesawat memasuki kawasan badai, pesawat menuju selatan dan terbang menuju ke celah antara dua badai. Pilot melaporkan bahwa mereka mencoba terbang di celah antara dua badai yang dapat dilihat dari radar cuaca pesawat.
Setelah 90 detik memasuki badai, kedua mesin pesawat mati, CVR dan DFDR berhenti merekam karena kehilangan listrik dari generator yang berada di kedua mesin pesawat. Pilot mencoba tiga kali menghidupkan kembali mesin pesawat namun gagal dan memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo.
Dari total 60 orang di atas pesawat, satu awak kabin tewas dan 12 penumpang mengalami luka parah dan 10 penumpang mengalami luka ringan.
Pramugari Santi Anggraeni tewas dalam insiden ini. Korban ditemukan 10 kilometer dari lokasi kejadian. Diperkirakan, Santi loncat dari pesawat dengan menggunakan parasut. Namun, parasut tak sempat terbuka.
Sumber : Merdeka.com
Pesawat tersebut terbang dari Lombok sekitar pukul 08.00 WITA. Menurut informasi yang didapat selama penyelidikan, saat take off cuaca dilaporkan cerah. Namun pilot melaporkan saat ketinggian (FL) 310 (kurang lebih 31,000 kaki) mereka memutuskan untuk mengambil rute lain karena melihat adanya badai dalam rute perjalanan yang sudah direncanakan. Badai ini terlihat dari radar cuaca di dalam pesawat.
Analisis dari data penerbangan digital (DFDR) dan gambar yang diperoleh dari satelit NOAA-12 menunjukkan bahwa pesawat telah memasuki badai sewaktu kru pesawat memulai untuk mengubah rute dari rute normal menuju Yogyakarta. Data satelit menunjukkan pesawat memasuki daerah dengan cuaca buruk sekitar 0918 UTC. Cuaca sangat buruk dan badai juga terakam dalam rekaman percakapan di dalam kokpit (CVR).
Data dari pencitraan satelit, CVR dan DFDR serta pernyataan pilot menunjukkan sebelum pesawat memasuki kawasan badai, pesawat menuju selatan dan terbang menuju ke celah antara dua badai. Pilot melaporkan bahwa mereka mencoba terbang di celah antara dua badai yang dapat dilihat dari radar cuaca pesawat.
Setelah 90 detik memasuki badai, kedua mesin pesawat mati, CVR dan DFDR berhenti merekam karena kehilangan listrik dari generator yang berada di kedua mesin pesawat. Pilot mencoba tiga kali menghidupkan kembali mesin pesawat namun gagal dan memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo.
Dari total 60 orang di atas pesawat, satu awak kabin tewas dan 12 penumpang mengalami luka parah dan 10 penumpang mengalami luka ringan.
Pramugari Santi Anggraeni tewas dalam insiden ini. Korban ditemukan 10 kilometer dari lokasi kejadian. Diperkirakan, Santi loncat dari pesawat dengan menggunakan parasut. Namun, parasut tak sempat terbuka.
Sumber : Merdeka.com
Tidak ada komentar: