Ditangkap, Dedengkot kera Bukit Menoreh berubah jadi manusia
Percaya tidak percaya namun kenyataannya fenomena mistis ini terjadi dan membuktikan kera-kera di Kawasan Bukit Menoreh bukan kera biasa. Sekitar awal tahun 2009 warga, aparat desa dan Perhutani secara massal berupaya untuk membasmi kera dengan mendatangkan beberapa orang suku Badui untuk memburu kera di Bukit Menoreh.
Namun sang Kepala Suku Badui yang memburu kera-kera tersebut langsung angkat tangan dan mengundurkan diri begitu berhasil menangkap sang 'kepala suku' atau 'dedengkot' kawanan kera dengan cara dijaring. Pasalnya dedengkot kera tersebut berubah menjadi manusia yang menyerupai bapak sang kepala suku yang saat itu sedang ada di rumah.
Berdasarkan penelusuran merdeka.com, kejadian mistis yang menggegerkan warga sekitar Bukit Menoreh dan Candi Borobudur itu berlangsung pada tahun 2009, berawal upaya pemusnahan yang dilakukan warga, perangkat desa dan Perhutani yang resah akan keberadaan kawanan kera yang meresahkan.
"Secara khusus, pihak Perhutani yang kami kirimi proposal bantuan penanggulangan gangguan kera. Mereka kemudian secara khusus juga mengundang suku Badui yang terkenal dengan ketrampilan dan keahliannya sebagai pawang kera. Sebanyak 9 orang datang. Naik ke kawasan bukit Menoreh dan berkemah di sana," ungkap Dalil Kepala Dusun (Kadus) Kemalangan, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng Jumat (21/9).
Sembilan orang suku Badui ini, setelah membangun tenda dan berkemah mengawali perburuan ratusan kera di kawasan Bukit Menoreh dengan ritual yang dipimpin oleh sang kepala suku Badui. Sebanyak tiga tenda mereka dirikan tiga titik yang dikenal warga sebagai sarang dan tempat beranaknya sang kera beranak pinak. Ketiga titik sarang yang menjadi sasaran itu adalah di lereng Bukit Menoreh yang dikenal warga sebagai Kawasan Watu Putih, di lereng Menoreh di Desa Ngargogondo dan lereng Bukit Menoreh di Desa Majak singi.
"Ritual mereka cukup unik. Sambil memanjatkan doa-doa dan pujian, kepala suku dan delapan para anggota suku badui meminum kelapa muda dicampur dengan lombok digunakan untuk membasuh muka mereka. Kemudian perburuan kera-kera pun dimulai," jelasnya.
Awalnya, warga merasa lega karena setiap harinya kesembilan orang dari suku Badui itu berhasil menangkap paling tidak sebanyak kurang lebih antara 60 sampai 75 ekor kera. Kera-kera mulai dari yang masih bayi, dewasa hingga tua serta baik yang berjenis kelamin jantan maupun betina berhasil ditangkap dengan alat jaring dimasukan ke dalam kotak besi kecil.
Ratusan kera yang ada di dalam kotak besi kecil itu kemudian ditata lalu dimasukan ke truk dan dikirim ke hutan tempat suku Badui tinggal. Kegiatan itu berlangsung selama satu bulan dan awalnya tidak menemui satu kendala apapun.
"Bahkan warga yang ingin memelihara kera-kera kecil atau dari bayi diberi oleh suku Badui yang berhasil menangkapnya," ungkapnya.
Selain itu, beberapa kera yang dinilai bisa dijinakan dibagikan ke beberapa hotel, homestay serta losmen yang ada di sekitar obyek wisata Taman Wisata Candi Borobudur Magelang yang merupakan peninggalan sejarah dunia atau World Herritage. Harapanya, ada suasana dan pemandangan serta ciri khas bahwa selain candi di Borobudur tepatnya di Bukit Menoreh terdapat habitat kera yang ada di obyek wisata itu.
"Namun yang boleh dipelihara, dibagikan kepada warga untuk dirawat hanya kera-kera yang berjenis kelamin jantan. Jumlahnya mencapai puluhan yang dibagikan. Untuk yang jenis kelamin betina mereka pindahkan dengan cara diangkut truk besar ke hutan suku Badui tinggal," tegasnya.
Sampai akhirnya menjelang sebulan terakhir, ada kejadian mistis aneh yang menggegerkan warga. Kejadian aneh muncul ketika sang kepala suku Badui berhasil menangkap seekor kera yang diyakini sebagai dedengkot atau kepala suku dari kawanan kera yang ada di Bukit Menoreh itu. Saat berhasil dijaring, kera yang memiliki jenggot panjang itu wajahnya tiba-tiba berubah menjadi wajah manusia.
"Wajahnya berubah jadi manusia yang menangis. Yang mengherankan wajah manusianya adalah wajah ayah dari sang pawang kepala suku Badui itu. Merasa teringat ayahnya yang di rumah, sang kepala suku langsung ikut menangis dan melepaskan kera yang dianggap para warga sebagai Mbah Jenggot itu," jelasnya.
Usai kejadian itu, warga merasa was-was dan di selimuti rasa ketakutan yang berkepanjangan. Hingga akhirnya kesembilan orang, termasuk kepala suku Badui memutuskan diri untuk pulang ke tempat asalnya. Warga, pihak pengelola hotel, homestay dan losmenpun karena takut akhirnya melepas kera-kera yang sempat mereka pelihara dan mengembalikan kera ke Kawasan Bukit Menoreh, Kabupaten Magelang, Jateng.
Sumber
Namun sang Kepala Suku Badui yang memburu kera-kera tersebut langsung angkat tangan dan mengundurkan diri begitu berhasil menangkap sang 'kepala suku' atau 'dedengkot' kawanan kera dengan cara dijaring. Pasalnya dedengkot kera tersebut berubah menjadi manusia yang menyerupai bapak sang kepala suku yang saat itu sedang ada di rumah.
Berdasarkan penelusuran merdeka.com, kejadian mistis yang menggegerkan warga sekitar Bukit Menoreh dan Candi Borobudur itu berlangsung pada tahun 2009, berawal upaya pemusnahan yang dilakukan warga, perangkat desa dan Perhutani yang resah akan keberadaan kawanan kera yang meresahkan.
"Secara khusus, pihak Perhutani yang kami kirimi proposal bantuan penanggulangan gangguan kera. Mereka kemudian secara khusus juga mengundang suku Badui yang terkenal dengan ketrampilan dan keahliannya sebagai pawang kera. Sebanyak 9 orang datang. Naik ke kawasan bukit Menoreh dan berkemah di sana," ungkap Dalil Kepala Dusun (Kadus) Kemalangan, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng Jumat (21/9).
Sembilan orang suku Badui ini, setelah membangun tenda dan berkemah mengawali perburuan ratusan kera di kawasan Bukit Menoreh dengan ritual yang dipimpin oleh sang kepala suku Badui. Sebanyak tiga tenda mereka dirikan tiga titik yang dikenal warga sebagai sarang dan tempat beranaknya sang kera beranak pinak. Ketiga titik sarang yang menjadi sasaran itu adalah di lereng Bukit Menoreh yang dikenal warga sebagai Kawasan Watu Putih, di lereng Menoreh di Desa Ngargogondo dan lereng Bukit Menoreh di Desa Majak singi.
"Ritual mereka cukup unik. Sambil memanjatkan doa-doa dan pujian, kepala suku dan delapan para anggota suku badui meminum kelapa muda dicampur dengan lombok digunakan untuk membasuh muka mereka. Kemudian perburuan kera-kera pun dimulai," jelasnya.
Awalnya, warga merasa lega karena setiap harinya kesembilan orang dari suku Badui itu berhasil menangkap paling tidak sebanyak kurang lebih antara 60 sampai 75 ekor kera. Kera-kera mulai dari yang masih bayi, dewasa hingga tua serta baik yang berjenis kelamin jantan maupun betina berhasil ditangkap dengan alat jaring dimasukan ke dalam kotak besi kecil.
Ratusan kera yang ada di dalam kotak besi kecil itu kemudian ditata lalu dimasukan ke truk dan dikirim ke hutan tempat suku Badui tinggal. Kegiatan itu berlangsung selama satu bulan dan awalnya tidak menemui satu kendala apapun.
"Bahkan warga yang ingin memelihara kera-kera kecil atau dari bayi diberi oleh suku Badui yang berhasil menangkapnya," ungkapnya.
Selain itu, beberapa kera yang dinilai bisa dijinakan dibagikan ke beberapa hotel, homestay serta losmen yang ada di sekitar obyek wisata Taman Wisata Candi Borobudur Magelang yang merupakan peninggalan sejarah dunia atau World Herritage. Harapanya, ada suasana dan pemandangan serta ciri khas bahwa selain candi di Borobudur tepatnya di Bukit Menoreh terdapat habitat kera yang ada di obyek wisata itu.
"Namun yang boleh dipelihara, dibagikan kepada warga untuk dirawat hanya kera-kera yang berjenis kelamin jantan. Jumlahnya mencapai puluhan yang dibagikan. Untuk yang jenis kelamin betina mereka pindahkan dengan cara diangkut truk besar ke hutan suku Badui tinggal," tegasnya.
Sampai akhirnya menjelang sebulan terakhir, ada kejadian mistis aneh yang menggegerkan warga. Kejadian aneh muncul ketika sang kepala suku Badui berhasil menangkap seekor kera yang diyakini sebagai dedengkot atau kepala suku dari kawanan kera yang ada di Bukit Menoreh itu. Saat berhasil dijaring, kera yang memiliki jenggot panjang itu wajahnya tiba-tiba berubah menjadi wajah manusia.
"Wajahnya berubah jadi manusia yang menangis. Yang mengherankan wajah manusianya adalah wajah ayah dari sang pawang kepala suku Badui itu. Merasa teringat ayahnya yang di rumah, sang kepala suku langsung ikut menangis dan melepaskan kera yang dianggap para warga sebagai Mbah Jenggot itu," jelasnya.
Usai kejadian itu, warga merasa was-was dan di selimuti rasa ketakutan yang berkepanjangan. Hingga akhirnya kesembilan orang, termasuk kepala suku Badui memutuskan diri untuk pulang ke tempat asalnya. Warga, pihak pengelola hotel, homestay dan losmenpun karena takut akhirnya melepas kera-kera yang sempat mereka pelihara dan mengembalikan kera ke Kawasan Bukit Menoreh, Kabupaten Magelang, Jateng.
Sumber